Friday, April 8, 2011

Nilai Kehidupan Dalam Kesederhanaan

Stefanus Suryono

Sejauh mata memandang, hanya ada tanah berbukit yang tandus, rumah-rumah kayu, dan pohon-pohon yang jarang. Memang tidak terlalu menarik, namun terlalu naïf rasanya mengenal desa Jurangjero dari fisiknya saja…
Gosip tentang kehidupan semasa live-in memang terdengar kurang menyenangkan. WC tembak, pekerjaan yang merepotkan, makanan yang seadanya… Ah, tidak mungkin separah itu, pikir saya. Kalaupun iya, saya percaya saya bisa survive. Meskipun rasa penasaran terlintas dalam benak saya tentang bagaimana kehidupan keluarga yang akan saya jalani.
Saya tinggal bersama pasangan yang sudah tua, Ibu Suwarni dan Pak Gianto namanya. Mereka tinggal di sebuah rumah kayu yang tidak terlalu tinggi, namun cukup luas. Karena kedua anak perempuan mereka sudah merantau, praktis keduanya tinggal sendirian. Apakah mereka kesepian? Tidak. Mereka sudah cukup senang sebab di sebelah rumah mereka masih ada saudara-saudara yang tinggal berdekatan, dan lagi kedua anak mereka juga sesekali datang untuk berkunjung. Bagi mereka, sebuah kebanggaan bisa melihat anak-anak mereka hidup mapan di kota meskipun mereka hidup sederhana di desa.
Tinggal di sebuah rumah yang hanya memiliki televisi dan radio tidak lantas membuat mereka bosan. Sebaliknya, mereka justru menikmati suasana senggang hanya dengan mengobrol. Bahkan mereka terlihat akrab, meskipun saya tidak mengerti apa yang dibicarakan. Kenyataan inilah yang membuat saya tersadar – betapa sebuah keakraban dapat muncul di dalam sebuah obrolan kecil. Saya menyadari bahwa terkadang saya terlalu sibuk dengan dunia saya sendiri. Begitu banyak hal menarik yang membuat saya terkunci dalam dunia ‘saya’ – mainan komputer, pembicaraan bersama teman di telepon, film DVD – telah membuat saya lupa untuk berkomunikasi dengan keluarga yang tinggal satu atap dengan saya. Sungguh menyedihkan betapa komunikasi yang akrab seperti ini tidak muncul dalam kehidupan orang kota. Orang-orang yang katanya lebih ‘pintar’ dibandingkan dengan orang desa.
Hari-hari saya selanjutnya tidak banyak disibukkan oleh banyak hal. Memang pekerjaan Ibu Suwarni dan Pak Gianto adalah petani musiman, namun karena kondisi tanah yang tandus, mereka tidak lagi aktif menanam padi. Mereka lebih banyak mengarit (mencari rumput) untuk makanan kambing dan sapi. Pak Gianto sendiri sering naik ke atas bukit untuk menggemburkan tanah yang nantinya digunakan untuk panen pada bulan Desember. Beliau juga memecahkan batu, mencabut singkong dan membakar rumput di sana. Sedangkan Ibu Gianto, sewaktu senggang hanya mengupas singkong untuk dijual dan memasak. Selebihnya mereka ngaso. Malamnya, mereka menonton berita televisi.
Rutinitas yang membosankan ini tetap mereka jalani dengan satu tujuan. Bertahan hidup. Apa lagi yang bisa mereka lakukan? Tanah yang tandus tidak lagi memberi kesempatan bagi mereka untuk menanam tanaman seperti padi. Yang ada hanyalah kacang dan singkong, itupun hanya dijual mentahnya saja, tanpa diolah terlebih dahulu. Satu karung goni yang beratnya sekitar 10 kilogram berisi singkong-singkong yang dikupas hanya dihargai Rp 500. Dan untuk mendapatnya, mereka harus membawa benda berat itu menuruni bukit untuk selanjutnya diangkut dan dijual di pasar. Saya dan teman sekamar saya, Nathan, harus berhenti sesekali dan bahkan terjatuh karena beratnya beban yang harus kami bawa. Bayangkan, betapa tidak adilnya usaha yang mereka tempuh dengan hasil yang didapat. Namun mereka tidak tampak mengeluh. Nilai kerja keras inilah yang membuat saya kagum.
Pernah di suatu pagi, saya ikut Ibu Gianto mengarit ke bukit. Ibu Suwarni menunjukkan kepeduliannya dengan melarang saya ikut. Tapi saya tetap memaksa, dan akhirnya beliau mengijinkan saya untuk ikut. Tidak banyak kesulitan saya alami dalam mengarit, namun ada hal lain yang membuat saya terkejut. Ibu berani mengambil resiko untuk naik ke bukit yang curam hanya untuk mendapatkan rumput bagi kambing dan sapinya. Saya sempat khawatir dan takut kalau-kalau beliau jatuh. Apalagi saat itu masih sepi dan tidak ada orang lain selain kami berdua. Namun syukurlah, Ibu Suwarni bisa turun kembali dengan selamat. Dari pengalaman ini, beliau telah mengajarkan saya untuk berani mengambil resiko ketika keadaan menghimpit.
Sorenya, kegigihan Pak Gianto yang berusaha menggemburkan tanah membuat saya terkagum-kagum. Betapa tidak, beliau harus mencangkul gundukan tanah berpasir yang amat menumpuk ke bawah untuk menutupi tanah yang tandus. Gundukan itu tampak sangat besar – mustahil untuk melakukannya seorang diri. Saat saya mencobanya pun sungguh terasa sulit. Namun, dengan berbekal harapan bahwa tanah bisa dipakai untuk panen, beliau tetap melakukannya. Apalah arti kesulitan kalau saya memiliki harapan akan masa depan yang lebih baik. Sesulit apapun suatu permasalahan, saya harus tetap berpikir positif dan pantang menyerah.
Tidak hanya itu, saat saya mampir ke rumah Ibu Gianti (saudara Pak Gianto) di sebelah kanan saya, saya ditawari makan oleh beliau. Demikian pula ketika saya membantu mengupas singkong di rumah Ibu Wagih di sebelah kiri saya. Tampak sebuah keramahan yang mereka tunjukkan dengan mengajak kami makan. Tidak peduli betapa asingnya saya, mereka menerima saya sebagai tamu. Terlihat dengan jelas mereka menyediakan makanan yang mereka miliki untuk dinikmati. Sikap penerimaan inilah yang semakin jarang saya temui, dan saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya itu, ketika saya berpapasan dengan orang sekitar, mereka juga menyapa saya, orang yang bahkan belum mereka kenal dekat. Dengan teman satu sekolah pun saya terkadang melupakan hal ini. Sifat kekeluargaan inilah yang saya coba untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Saat saya berbincang-bincang dengan Ibu Suwarni dan Pak Gianto, terlihat bahwa mereka menanggapi pertanyaan saya dengan santai, tanpa suatu keterpaksaan atau keberatan. Malah mereka sangat senang berbagi pengalaman hidup mereka pada saya. Ibu Suwarni pernah sakit paru-paru selama tiga tahun dan Pak Gianto pernah terkena tumor jinak di lututnya. Untunglah keduanya bisa sembuh dan sampai saat ini masih produktif. Saat saya tanya bagaimana penyakit itu bisa sembuh, Ibu Suwarni menjawab bahwa mereka hanya memohon kesembuhan saja, dan selanjutnya seolah-olah Tuhan melempengkan jalan kesembuhan bagi mereka. Dulu karena keterbatasan materi, keduanya sama sekali tidak memiliki riwayat pendidikan. Orang tua maunya kami bekerja, demikian kata Ibu Suwarni. Terutama Pak Gianto yang harus berjuang sebagai anak sulung dalam mengurus adik-adiknya, sebab ibunya meninggal saat Pak Gianto masih muda. Pernah suatu ketika, keluarga Ibu Suwarni hanya memakan daun pepaya yang disambal karena mereka tidak memiliki apapun untuk dimakan.
Di sela-sela pembicaraan kami, Ibu Suwarni tetap bisa tertawa lepas mendengar cerita saya. Saya tidak menyangka bahwa di tengah keterbatasan yang ada, Ibu Suwarni tetap bisa ceria. Bagi saya, masa-masa sulit bukanlah hal menyenangkan yang seharusnya dibagi. Namun Ibu Suwarni membagikannya dengan bangga dan senyumnya yang lebar. Secara tidak langsung, Ibu mengajarkan saya akan pentingnya menghargai hidup dengan mensyukuri seluruh pengalaman yang saya alami. Seburuk apapun pengalaman yang saya alami, sepatutnya saya berbahagia, saya menjadi lebih kuat karenanya.
Saya sungguh mendapatkan banyak hal melalui pengalaman live-in ini. Saya juga selalu mendoakan agar Ibu Suwarni dan Pak Gianto selalu sehat dan selalu di bawah perlindungan Tuhan.

Thursday, March 31, 2011

Tuhan kabulkan Khayalanku

Awalnya saya merasa penasaran dan tertantang karena ini adalah pengalaman pertama saya pergi ke Halim. Setibanya di lokasi saya merasa sangat prihatin karena ternyata rumah penduduk berjarak tiga meter dari tumpukan sampah. Anak-anak di sana ramah dan ceria meski hidup sangat sederhana. Orangtua mereka juga sangat mendukung mereka untuk bermain dengan kami. Hal ini membuat saya nyaman berinteraksi dengan mereka meski baru pertama kali bertemu.
Tema kegiatan kami kemarin adalah menggambar tentang cita-cita. Sesuai dengan tema hari itu, saya mendekati seorang anak dan bertanya kepadanya: apa cita-citanya jika sudah besar. Dengan spontan dan bersemangat anak itu menjawab bahwa ia ia ingin menjadi babysitter. Saya tatap anak itu dan saya menganggukan kepala. Dia pun gembira luar biasa. Saya dekati yang lain lagi. Sambil saya elus punggungnya saya tanyakan kepadanya: apa cita-citanya. Setengah berteriak dia menjawab, “Sekretaris bos!,” Saya lanjutkan pertanyaan saya padanya, “Mengapa?,” anak itu menjawab, “Karena sekretaris bos selalu membawa komputer (mungkin yang dimaksud laptop) dan buku,” Mendengar semua tadi saya berpikir bagi mereka hal yang kadang-kadang kita lihat sangat sederhana dan tidak masuk hitungan sudah merupakan suatu hal yang sangat diimpikan. Sesungguhnya banyak keindahan di sana yang kita tidak pernah terpikirkan. Tiba-tiba saya berkhayal seandainya posisi saya saat berhadapan dengan mereka bukan seorang siswi SMA Santa Ursula BSD, tetapi seorang pengusaha yang sudah sukses, pasti saya bisa berbuat banyak untuk mereka. Akhirnya saya termotivasi dan sadar bahwa saya harus berjuang habis-habisan agar saya menjadi seseorang seperti dalam khayalan saya dan saya memohon kepada Tuhan jika Tuhan mengabulkan khayalan saya tadi semoga Tuhan memelihara jiwa saya agar saya tetap menyadari bahwa nan jauh di pinggiran sana banyak insan yang menanti uluran tangan untuk mendekap mereka dengan penuh kasih.
Satu lagi pengalaman menarik pada hari itu. Seorang anak bernama Keke, perempuan berumur kurang lebih 3 tahun. Nakalnya luar biasa. Selalu saja mengganggu teman-temannya dengan mencoretkan pensil warna di kertas temannya. Dan temannya selalu memprotes kelakuannya. Satu pak pensil warna yang tersedia pun berkali-kali ditumpahkannya. Dan saya selalu sibuk memungutinya. Kadang saya sampai harus merangkak di bawah meja. Begitu dibuat berulang-ulang. Dan bila saya nasehati tidak pernah didengar bahkan ditumpahkan kembali pensil-pensil itu. Saya sadar bahwa saya tidak mungkin memarahinya meski saya sedikit kesal. Ini pun menjadi renungan saya bahwa jika saya sudah menuju ke tempat itu saya harus siap menjadi pelayan mereka. Saya berusaha menerima tantangan itu.
by Yudis

Thursday, March 17, 2011

Struggle

Pantang menyerah
Hari itu merupakan kedua kalinya saya pergi ke Sanggar Anak Akar. Awalnya, saya merasa sedikit canggung saat berkenalan dengan anak-anak di Penas, namun karena ini merupakan kedua kalinya saya pergi ke Penas, tidak lama kemudian rasa canggung saya hilang.
Hari itu kami sama sekali tidak ingat untuk membawa gunting, sehingga terjadilah rebutan gunting. Namun, saya senang anak-anak yang walaupun pada awalnya berebutan akhirnya mau mengantri dan bersabar menunggu gilirannya untuk menggunting kain.
Hal yang paling berkesan buat saya pada hari itu adalah ketika membuat prakarya bersama Raka dan Ferdi. Raka minta untuk diajari menjahit namanya pada kain. Pertama - tama saya memberikan contoh cara menjahit, setelah itu ia mencobanya sendiri. Saya sangat kagum karena ternyata ia mampu menjahit dengan rapi! Saya juga kagum pada Ferdi yang bersikeras mencoba menjahit sendiri walaupun hasil akhirnya tidak karuan dan tidak bisa selesai. Saya kagum akan sikap mereka berdua yang mau berusaha terlebih dahulu. Mereka justru tidak mau prakaryanya dibuatkan. Mereka ingin berusaha sendiri untuk menjahit nama mereka.
Padahal dalam hidup sehari - hari, seringkali kita menyerah duluan ketika dihadapkan pada situasi sulit atau suatu hal yang belum pernah kita coba sebelumnya. Kita bahkan kadang cenderung untuk menghindari hal - hal tersebut. Dari sini saya belajar bahwa dalam keadaan seperti itu yang semestinya kita lakukan adalah mencoba terlebih dahulu. Yang terpenting bukanlah hasil akhirnya, melainkan prosesnya dan kemauan serta keberanian kita untuk mencoba.
Secara keseluruhan kegiatan hari ini sangat menyenangkan. Saya senang bisa berinteraksi dengan anak-anak di Penas, sampai-sampai tak terasa sudah jam 3 sore lewat. Walau ini sudah kedua kalinya saya pergi, saya tidak merasa bosan. Rasanya seru sekali bermain dan membuat prakarya bersama teman - teman di Penas!
Claudia Erika

Wednesday, March 9, 2011

BERBAGI

Mau Berbagi

Hari ini, pertama kalinya saya pergi ke sanggar akar. Banyak hal yang terbayang di pikiran saya akan apa yang akan terjadi hari inI. Pagi harinya, cuaca tidak mendukung. Hujan deras turun terus-menerus, bahkan hingga saya sampai di halte SGU. Saya tiba disana pukul 11.20, tetapi hanya ada empat orang, termasuk saya, yang ada di halte. Bu ketika semua telah hadir, bus pun datang, tapi Bu Purwi belum datang sehingga kami harus naik bus pukul 11.50. Kami sampai di sanggar jam satu lewat dan tiba di halim sekitar setengah dua. Sesampainya di sana, tak lama kemudian anak-anak berdatangan. Mayoritas yang datang adalah perempuan, laki-lakinya hanya dua anak. Dua perempuan diantaranya ada yang sudah SMP dan SMA. Walau sudah cukup dewasa, mereka tetap antusias dalam melakukan kegiatan. Saya, Natalie, Zelda, Nanda, dan Bu Vita melakukan perkenalan kemudian mereka juga memperkenalkan diri. Setelah itu, kegiatan kami mulai dengan membuat prakarya. Sesuai keinginan anak-anak, mereka memilih untuk membuat tempat pensil. Dengan bahan dasar kardus dan stik eskrim bekas, mereka sangat antusias membuatnya. Bertanya-tanya cara melakukannya hingga akhirnya semuanya dapat mereka selesaikan dengan panduan dari saya dan yang lainnya. Sebelum usai, ada satu anak yang meminta dibuatkan burung origami kepada saya. Ia masih kecil. Setelah ia dibuatkan, banyak yang lainnya juga minta dibuatkan. Setalah selesai dibereskan, saya dan yang lainnya pun kembali ke BSD dengan bus yang sama bersama-sama tim Penas.
Satu hal yang menjadi pelajaran bagi saya, terkadang banyak hal yang biasa bagi saya. Membuat burung-burungan bukanlah hal yang sulit. Burung-burungan tersebut juga tidak berarti besar. Namun, bagi anak-anak di sana, karya kecil seperti itu sungguh berharga bagi mereka, bahkan diperebutkan.
Bersyukur atas apa yang Tuhan berikan dalam hidup saya menjadi hal yang sangat saya rasakan saat saya datang hingga pulang dari Halim. Selayaknya, saya lebih menghargai akan apa yang telah saya miliki dan mau berbagi akan apa yang saya bisa berikan. Karena saya tidak akan pernah semakin kekurangan ketika saya mau berbagi.
By samuel


Hari Minggu kemarin adalah pengalaman saya pergi ke Sanggar Anak Akar, untuk bermain dan membuat prakarya dengan teman-teman di sana. Saya pergi ke Halim bersama Zelda, Natalie, dan Samuel. Pada saat akan pergi ke sana, kami sempat tertinggal bus yang jam 11.30 WIB karena pada saat itu (mungkin) hujan dan beberapa ada yang telat. Tapi pada kedatangan bus selanjutnya kami semua sudah berkumpul dan langsung pergi ke sana.

Pada sampai di Halim, saya sempat kaget dengan tempat di mana saya dan teman-teman dari halim yang akan bertemu. Itu hanya berupa bangunan, sebenarnya tidak layak juga disebut bangunan yang sebelahnya adalah tempat pembuangan sampah-sampah. Saya sempat mengalami ketakutan saat saya melihat ada kaki seribu merayap di ubin tempat kita berkumpul. Saya sangat takut dengan segala macam yang merayap, entah cacing, ulat, dan sebagainya. Akhirnya hal itu dapat diatasi dan saya bisa tenang kembali dan melanjutkan berinteraksi dengan teman-teman di sana.

Selama hari itu, teman-teman dari halim yang berkumpul katanya tidak sebanyak biasanya. Hari itu memang hujan, sehingga mungkin banyak anak-anak yang enggan datang. Pada saat kami sedang membuat prakarya, ada anak bernama Inul serta teman-temannya yang sedang mengambil sampah-sampah. Ketika kami mengajak ia untuk bergabung, ia menolak. Ia lebih memilih memunguti sampah, yang bila di loakan akan memberikan uang buat dia dari pada duduk dan membuat kotak pensil di tempat kami sedang membuat prakarya. Padahal Inul baru berumur sekitar 7 tahunan. Betapa kasihan.

Dari beberapa teman yang datang pada hari itu, saya agak lebih dekat dengan seorang anak bernama Dyah atau dipanggil oleh teman-teman disitu adalah Dede. Dede sangat bawel, selama proses pembuatan prakarya selalu berbicara. Semua hal dibicarakan oleh Dede. Dia sempat mengeluhkan sebentar lagi Ujian Nasional (Dede kelas 3 SMP) dan dia merasa takutmenghadapi UN tersebut. Dede juga sempat mengutarakan lebih baik ia sekolah di Sanggar Anak Akar daripada sekolah nya sekarang, karena di sekolahnya banyak labrak-melabrak antar angkatan (senioritas). Lagipula di Sanggar Anak Akar juga mengikuti UN kejar paket B kata Dede.

Hari itu saya belajar banyak. Belajar bagaimana mereka bisa hidup dengan segala kesederhaan mereka. Mendengarkan keluhan mereka. Berhasil menahan diri dari phobia insekta. Sadar bahwa hidup saya jauh dari kecukupan dan lebih bersyukur dengan apa yang saya miliki.

Ananda Christie

Tuesday, February 8, 2011

PENDIDIKAN YANG MEMANUSIAKAN

Pengalaman Pertamaku

Minggu ini adalah pertama kalinya saya pergi ke Sanggar Anak Akar sebagai anggota JANGKAR. Saya pergi ke Sanggar bersama dengan 6 anggota JANGKAR lainnya dan 2 guru pendamping. Perjalanan kami tempuh dari halte SGU sampai ke daerah UKI menggunakan bus lalu dilanjutkan menggunakan angkot untuk menuju Sanggar. Sampai Sanggar kami dibagi menjadi 2 kelompok, saya pergi ke Halim bersama 3 teman dan 1 guru pendamping, sedangkan ketiga teman saya dan guru pendamping lainnya pergi ke Penas. Perjalanan dari Sanggar ke Halim tidak terlalu jauh, kami hanya perlu berjalan kaki saja. Perasaan saya sebelum pergi ke Sanggar adalah gugup dan takut tidak dapat berbaur dengan anak-anak di sana, takut juga apabila keterampilan yang kami buat tidak menarik. Namun, setelah sampai di Halim dan mulai berinteraksi dengan anak-anak dan teman-teman yang ada di sana, ketakutan saya pun berubah menjadi sebuah perasaan nyaman dan enjoy. Kegiatan kami mulai dengan mengajak teman-teman di Halim bernyanyi, lalu kami lanjutkan dengan kegiatan keterampilan yang telah kami rancang, yaitu membuat kartu valentine untuk teman atau orangtua mereka. Teman-teman di Halim sangat antusias sekali dalam membuat kartu, mereka juga sangat kreatif dalam menghias kartu-kartu tersebut. Bukan itu saja, mereka terlihat sangat bergermbira dalam menjalanin rangkaian kegiatan yang kami rencanakan. Kami juga mengajari mereka membuat keterampilan dari origami dan kami membiarkan mereka mengekspresikan diri mereka melalui keterampilan tersebut. Memang, ada juga yang tidak mebuat kartu karena asik bermain dengan kertas origami. Namun, menurut saya itu bukan masalah karena mereka pun senang dalam melakukannya, yang penting mereka senang dan tidak malu-malu dengan kami. Kami juga mendengar cerita-cerita dari teman-teman di Halim dan kami juga membagikan cerita-cerita kami kepada mereka. Kegiatan pada hari ini berlangsung sangat baik dan membahagiakan. Saya sebagai pribadi pun puas karena dapat membahagiakan teman-teman di Halim serta dapat memberikan waktu saya untuk mereka. Saya belajar untuk berbaur dan belajar untuk sabar ketika berinteraksi dengan teman-teman di sana. Saya senang sekali melihat mereka senang. Untuk itu saya ingin kembali lagi untuk memberikan waktu luang saya untuk bermain-main dan bersenang-senang bersama teman-teman di Halim.
By Olin

Tuesday, February 1, 2011

Kepedulian kami yang terakhir bersama siswa kelas XII. Perjalanan ke Penas kami lalui dengan santai dan bersahabat. Kami sangat menikmati perjalanan dengan bus dan angkot yang merupakan kendaraan wajib yang kami pakai untuk merasakan denyut nadi dan bau keringat orang-orang kecil. Sekitar 1 jam kami lalui dan tiba di lokasi persemai persaudaraan dengan keluarga kami, anak-anak yang selalui merindukan kedatangan kakak-kakaknya. Berikut pengalaman kecil kami


Minggu ini adalah kali ketiga saya mengunjungi sanggar akar. Berbeda dengan kunjungan sebelumnya, kali ini saya pergi ke halim. Satu pengalaman baru yang tentunya sangat luar biasa dari mulai berangkat dari sanggar. Meski gerimis saya tetap antusias untuk membagi keceriaan dengan adik-anak di halim. Anak-anak di halim lebih teratur dari di penas, mereka pun terlihat sangat menyimak setiap hal yang saya ajarkan dari mulai membuat desain topeng, menggunting kertas hingga memasang karet. Mereka sangat senang belajar hal baru. Walaupun itu hari minggu dan hari hujan tidak sedikit pun rasa terpaksa yang mereka tunjukkan. Kunjungan ini semakin membuat saya termotivasi untuk bisa membagi keceriaan yang ada pada saya untuk orang-orang di sekitar saya. Walau kunjungan terakhir, semoga di lain waktu saya dapat kembali ke sanggar dan membagikan keceriaan yang lebih besar bagi mereka.
By Adriel


Di kesempatan terakhir kali ini untuk saya, saya mendapatkan giliran untuk pergi ke sanggar akar dimana yang berangkat ada 6 anggota KASA dan 3 anggota JANGKAR yang merupakan masa peralihan dan beserta 2 orang guru pendamping. Perjalanan dimulai dari halte pada jam 12 siang dan sampai di sanggar akar kurang lebih jam 1. Tujuan kali ini ada 2 tempat yakni Penas dan Halim, maka kelompok dibagi menjadi 2, 4 orang termasuk saya ditambah guru pergi ke Penas dan 5 orang lainnya pergi ke Halim.
Begitu sampai di Penas, anak-anak tidak langsung datang menghampiri sehingga perlu menunggu terlebih dahulu sampai anak-anak berkumpul. Dengan melihat betapa Lido, Agus, Nanda dengan begitu bersemangat mencari-cari temannya yang lain untuk bertemu dengan kami, saya pribadi semakin merasa senang bahwa anak-anak begitu mengharapkan kehadiran kami di antara mereka meskipun memang banyak yang masih malu-malu dan hanya sebagian yang datang.
Di dalam pertemuan ini anak-anak di ajarkan cara membuat bingkai foto/gambar dari kertas karton dan benang wol. Saat perkenalan, anak-anak di tanyakan mengenai cita-cita mereka. Dengan berbicara mengenai impian mereka, saya juga semakin teringatkan pada kenyataan bahwa mereka punya impian, keinginan yang ingin mereka capai dan itu adalah baik, padahal melihat lagi ke belakang kadang justru saya saat seusia mereka masih tanpa arah dan tidak tahu mau jadi apa. Mereka memiliki impian yang bisa jadi lebih besar dari apa yang saya miliki namun selalu yang menjadi kendala adalah keinginan tidak selalu disertai kesempatan yang baik untuk mereka. Saya merasa bahwa adalah hal yang lebih baik bila kesempatan tersebut semakin terbuka dengan apa yang sudah kita lakukan.
Saya senang bisa berkesempatan untuk lebih mengenal mereka dengan beraktivitas bersama mereka. Memang ada kesulitan-kesulitan seperti pertengkaran-pertengkaran yang seringkali terjadi dan itu menjadi tidak enak bagi saya untuk merasakan ketidakmampuan saya sendiri dalam mengatasinya. Melihat itu saya juga merasa bahwa saya masih perlu banyak belajar mengerti orang lain terutama dalam tujuan bisa menjadi solusi bagi orang lain.
By Edwin


Kemarin minggu adalah saat terakhir aku ke sanggar sbagai anggota KASA. Saat berangkat jujur saya merasakan kesedihan,bahwa hari itu adalah kunjungan terakhir ke sanggar. Namun setibanya di sana, perasaan itu brubah menjadi kesenangan,bukan senang karena yang terakhir tetapi senang karena saya masih bisa ke sana untuk memberikan kebahagiaan yang saya miliki untuk anak2 disana. Hari itu juga adalah yang pertama dan terakhir kalinya saya ke Halim. Bertemu dengan teman-teman baru, saya juga belajar hal yang berbeda dri sebelumnya. Saya sempat bertanya pada Meli, salah satu anak yg tinggal di sana, mengenai cita-citanya. Awalnya ia menjawab saya dengan "mana bisa kak aku punya cita-cita, kan enggak sekolah," ketika saya bertanya lagi untuk kedua kalinya, ia dengan malu-malu menjawab ingin jdi pramugari, tapi ia kembali menekankan bahwa ia tidak bisa jadi pramugari karena tidak sekolah. Hati saya miris mendengarnya. Anak sekecil itu sudah harus mengetahui fakta kehidupan yang kejam,namun ia sebetulnya masih berani untuk bermimpi. Saat saya berbincang-bincang dengan dia, dia berkata bahwa dia sangat senang dengan kedatangan kami kesana. Ia bilang bahwa melakukan kegiatan seperti ini adalah suatu kebahagiaan sendiri baginya. Dari satu anak kecil ini saya belajar bahwa dalam kesederhanaan hidup, kita harus selalu bersyukur dan hidup dalam kegembiraan. Selain itu saya belajar juga untuk kembali berani bermimpi. Terkadang saya takut untuk bermimpi karena takut untuk jatuh. Tetapi saya dikuatkan kembali oleh anak-anak kecil ini. Menurut saya bukan mereka yang mendapatkan pelajaran dari saya. Merekalah yang memberikan saya begitu banyak pelajaran hidup yang berharga.
By Felicia

Hari ini merupakan pertama kalinya saya pergi ke Sanggar Anak Akar. Awalnya, saya merasa sedikit canggung saat berkenalan dengan anak-anak di Penas, namun setelah kegiatan berjalan, saya merasa senang dapat berinteraksi dengan anak-anak.
Saya belajar untuk kegiatan ke berikutnya sebaiknya memperhatikan tingkat kesulitan prakarya agar tidak terlalu sulit bagi anak-anak. Saya juga harus lebih memperhatikan jumlah alat dan bahan yang hendak dibawa agar tidak timbul kejadian rebut-rebutan yang dapat berujung pada perkelahian.
Anak-anak di Penas sangat aktif dan antusias. Namun, di kemudian hari, saya harus belajar lebih kreatif dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan mereka agar mereka tambah antusias lagi dalam menjalani kegiatan. Saya juga harus belajar melerai bila ada perkelahian di antara mereka.
Saya juga mendapat banyak saran dan cerita dari Listia dan Feli. Saya sangat senang karena mereka begitu mensupport kami yang baru pertama kali pergi ke sanggar. Mereka mendukung kami agar tidak malu-malu dan ragu dalam berinteraksi dengan anak-anak.
Saya tidak terlalu terkejut melihat lingkungan tempat mereka tinggal, karena saya pernah bepergian ke tempat-tempat seperti itu sebelumnya, namun yang saya baru pertama kali saksikan kali ini adalah sekelompok ibu-ibu yang memunguti sampah dari sungai. Saya baru tahu kalau ada pekerjaan seperti itu. Saya juga kaget saat menyaksikan bahwa di belakang pos di Penas ada sebuah bangunan yang bagus, entah kantor atau restoran. Betapa mencoloknya perbedaan yang ada di antara bangunan itu dengan bangunan-bangunan yang ada di sekitar pos.
Secara keseluruhan kegiatan hari ini sangat menyenangkan. Saya senang bisa berinteraksi dengan anak-anak di Penas, sampai-sampai tak terasa sudah jam 3 sore. Saya ingin pergi lagi ke sanggar di kesempatan berikutnya. Semoga semangat ini tidak hanya muncul di awal dan meredup, melainkan tetap tumbuh berkembang setiap harinya.
By Claudia


Kunjungan saya ke sanggar pada tanggal 16 Januari 2011 semakin memperkuat pandangan saya mengenai realita yang terdapat di masyarakat kita. Saya yakin bahwa setiap orang memiliki potensi-potensi di dalam diri mereka untuk dapat menjadi orang-orang yang sukses. Hanya saja, kesempatan yang didapat oleh setiap orang berbeda-beda, sehingga terbentuklah kesenjangan-kesenjagan sosial yang terdapat di dalam masyarakat. Hal ini terpancar ketika saya bersama kelompok saya mengajak anak-anak sanggar untuk membuat prakarya berupa bingkai foto dan bando. Meskipun ketika dijelaskan bagaimana cara membuatnya ada anak yang mengeluh karena kurang menyukai prakarya yang akan dibuat, tetapi mereka tetap mau untuk mengerjakannya. Kemudian pada saat saya mendampingi anak-anak dalam proses pengerjaannya, saya melihat bahwa mereka sangat ingin agar mendapatkan hasil karya yang bagus. Mereka tidak enggan untuk bertanya dan meminta bantuan kepada orang lain agar hasil yang diperoleh optimal. Setiap anak menghasilkan hasil karya yang berbeda-beda seusai dengan kreatifitas individu. Meskipun bahan dan peralatan yang tersedia terbatas, mereka mampu memanfaatkannya semaksimal mungkin sehingga karya yang dihasilkan bagus-bagus. Dalam keterbatasan itu pun mereka dapat bekerja sama dengan saling memberi dan meminjamkan alat dan bahan antara satu sama lain, meskipun beberapa anak masih bersikap egois dan perlu diingatkan oleh orang lain agar mau berbagi. Dari sini saya dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya mereka memiliki potensi yang besar. Hanya saja dalam kondisi mereka saat ini, potensi tersebut tidak dapat digali lebih dalam lagi dan dikembangkan secara maksimal. Hak-hak pendidikan mereka kurang dapat terpenuhi karena kurangnya fasilitas, dukungan, dana, dan lain-lain. Selain itu, hidup dalam lingkungan dan masyarakat yang sedemikian rupa juga berdampak pada berkurangnya hak-hak mereka yang dapat terpenuhi. Hal-hal tersebutlah yang kemudian dapat menghambat perkembangan diri mereka. Apabila mereka diberi kesempatan yang lebih baik, saya yakin mereka akan berkembang menjadi anak-anak yang dapat bermanfaat bagi masyarakat dan membanggakan bangsa dan negara.
By Andreas


Hari ini adalah pertama kalinya saya datang ke Sanggar Akar. Pertama- tama saya sangat nervous dan juga penasaran tentang anak- anak dan juga keadaan lingkungannya. Namun diluar dugaan mereka semua sangat baik dan sangat aktif. Saya mendapat kesempatan untuk pergi ke Halim.
Sebenarnya saya sejak kecil sering sekali melewati kawasan tersebut, namun belum pernah masuk hingga ke pemukiman warga. Sebelumnya saya berfikir bahwa kawasan yang akan dikunjungi akan dipenuhi sampah. Walaupun becek namun keadaan disana bersih dan warga juga sangat mendukung acara kami ini. Setiap kami melewati satu rumah ke rumah lain, kami selalu disapa maupun menyapa. Saya juga melihat bahwa mereka begitu senangnya untuk membuat barang- barang yang sesungguhnya berasal dari barang bekas. Walau untuk pertama- tama malu, lama kelamaan mereka mulai mendekati kakak dari kasa dan jangkar untuk bertanya.
Kegiatan ini sungguh membangkitkan rasa peduli saya dengan anak- anak disekitar yang membutuhkan kami untuk membantu mereka lebih kreatif sekaligus menjadi teman yang baik.
By Nadia

Efek obat antibiotik

Efek antibiotik
Saya masih mempunyai anak-anak kecil yang masih sering sakit dan dokter suka banget memberikan antibiotik pada anak saya. Karena saya orang awan saya percaya begitu saja. Namun info ini hendaknya menjadi perhatian orangt tua bahwa ada Efek Samping Mengejutkan dari Antibiotik Merry Wahyuningsih - detikHealth[Image]
(Foto: thinkstock) Jakarta, Antibiotik telah banyak digunakan untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Tapi ada beberapa efek samping antibiotik yang mengejutkan dan belum banyak diketahui orang. Apa saja?

Antibiotik merupakan senyawa atau kelompok obat yang dapat mencegah perkembangbiakan berbagai bakteri dan mikroorganisme berbahaya dalam tubuh. Selain itu, antibiotik juga digunakan untuk menyembuhkan penyakit menular yang disebabkan oleh protozoa dan jamur.

Tapi belum banyak orang yang tahu bahwa antibiotik juga dapat menyebabkan efek samping yang cukup membahayakan. Dilansir dari Ehow, Jumat (17/9/2010), berikut beberapa efek samping antibiotik:

1. Gangguan pencernaan
Salah satu efek samping antibiotik yang paling umum adalah masalah pencernaan, seperti diare, mual, kram, kembung dan nyeri.

2. Gangguan fungsi jantung dan tubuh lainnya
Beberapa orang yang mengonsumsi antibiotik mengalami jantung berdebar-debar, detak jantung abnormal, sakit kepala parah, masalah hati seperti penyakit kuning, masalah ginjal seperti air kecing berwarna gelap dan batu ginjal dan masalah saraf seperti kesemutan di tangan dan kaki.

3. Infeksi
Efek samping yang paling rentan dirasakan perempuan adalah infeksi jamur pada organ reproduksi yang dapat menyebabkan keputihan, gatal dan vagina mengeluarkan bau serta cairan.

4. Alergi
Orang yang mengonsumsi antibiotik juga sering mengalami alergi, bahkan hingga bertahun-tahun. Alergi yang sering terjadi adalah gatal-gatal dan pembengkakan di mulut atau tenggorokan.

5. Resistensi (kebal)
Orang yang keseringan minum antibiotik bisa mengalami resistensi atau tidak mempan lagi dengan antibiotik. Ketika seseorang resisten terhadap antibiotik, ada beberapa penyakit dan infeksi yang tidak dapat lagi diobati, sehingga memerlukan antibiotik dengan dosis lebih tinggi. Semakin tinggi dosis maka akan semakin menimbulkan efek samping yang serius dan mengancam jiwa.

6. Gangguan serius dan mengancam nyawa
Penggunaan antibiotik dosis tinggi dan dalam jangka lama dapat menimbulkan efek sampaing yang sangat serius, seperti disfungsi atau kerusakan hati, tremor (gerakan tubuh yang tidak terkontrol), penurunan sel darah putih, kerusakan otak, kerusakan ginjal, tendon pecah, koma, aritmia jantung (gangguan irama jantung) dan bahkan kematian. Sumber ; http://health.detik.com/read/2010/09/17/075559/1442128/763/efek-samping-mengejutkan-dari-antibiotik?993306755