Thursday, March 31, 2011

Tuhan kabulkan Khayalanku

Awalnya saya merasa penasaran dan tertantang karena ini adalah pengalaman pertama saya pergi ke Halim. Setibanya di lokasi saya merasa sangat prihatin karena ternyata rumah penduduk berjarak tiga meter dari tumpukan sampah. Anak-anak di sana ramah dan ceria meski hidup sangat sederhana. Orangtua mereka juga sangat mendukung mereka untuk bermain dengan kami. Hal ini membuat saya nyaman berinteraksi dengan mereka meski baru pertama kali bertemu.
Tema kegiatan kami kemarin adalah menggambar tentang cita-cita. Sesuai dengan tema hari itu, saya mendekati seorang anak dan bertanya kepadanya: apa cita-citanya jika sudah besar. Dengan spontan dan bersemangat anak itu menjawab bahwa ia ia ingin menjadi babysitter. Saya tatap anak itu dan saya menganggukan kepala. Dia pun gembira luar biasa. Saya dekati yang lain lagi. Sambil saya elus punggungnya saya tanyakan kepadanya: apa cita-citanya. Setengah berteriak dia menjawab, “Sekretaris bos!,” Saya lanjutkan pertanyaan saya padanya, “Mengapa?,” anak itu menjawab, “Karena sekretaris bos selalu membawa komputer (mungkin yang dimaksud laptop) dan buku,” Mendengar semua tadi saya berpikir bagi mereka hal yang kadang-kadang kita lihat sangat sederhana dan tidak masuk hitungan sudah merupakan suatu hal yang sangat diimpikan. Sesungguhnya banyak keindahan di sana yang kita tidak pernah terpikirkan. Tiba-tiba saya berkhayal seandainya posisi saya saat berhadapan dengan mereka bukan seorang siswi SMA Santa Ursula BSD, tetapi seorang pengusaha yang sudah sukses, pasti saya bisa berbuat banyak untuk mereka. Akhirnya saya termotivasi dan sadar bahwa saya harus berjuang habis-habisan agar saya menjadi seseorang seperti dalam khayalan saya dan saya memohon kepada Tuhan jika Tuhan mengabulkan khayalan saya tadi semoga Tuhan memelihara jiwa saya agar saya tetap menyadari bahwa nan jauh di pinggiran sana banyak insan yang menanti uluran tangan untuk mendekap mereka dengan penuh kasih.
Satu lagi pengalaman menarik pada hari itu. Seorang anak bernama Keke, perempuan berumur kurang lebih 3 tahun. Nakalnya luar biasa. Selalu saja mengganggu teman-temannya dengan mencoretkan pensil warna di kertas temannya. Dan temannya selalu memprotes kelakuannya. Satu pak pensil warna yang tersedia pun berkali-kali ditumpahkannya. Dan saya selalu sibuk memungutinya. Kadang saya sampai harus merangkak di bawah meja. Begitu dibuat berulang-ulang. Dan bila saya nasehati tidak pernah didengar bahkan ditumpahkan kembali pensil-pensil itu. Saya sadar bahwa saya tidak mungkin memarahinya meski saya sedikit kesal. Ini pun menjadi renungan saya bahwa jika saya sudah menuju ke tempat itu saya harus siap menjadi pelayan mereka. Saya berusaha menerima tantangan itu.
by Yudis

Thursday, March 17, 2011

Struggle

Pantang menyerah
Hari itu merupakan kedua kalinya saya pergi ke Sanggar Anak Akar. Awalnya, saya merasa sedikit canggung saat berkenalan dengan anak-anak di Penas, namun karena ini merupakan kedua kalinya saya pergi ke Penas, tidak lama kemudian rasa canggung saya hilang.
Hari itu kami sama sekali tidak ingat untuk membawa gunting, sehingga terjadilah rebutan gunting. Namun, saya senang anak-anak yang walaupun pada awalnya berebutan akhirnya mau mengantri dan bersabar menunggu gilirannya untuk menggunting kain.
Hal yang paling berkesan buat saya pada hari itu adalah ketika membuat prakarya bersama Raka dan Ferdi. Raka minta untuk diajari menjahit namanya pada kain. Pertama - tama saya memberikan contoh cara menjahit, setelah itu ia mencobanya sendiri. Saya sangat kagum karena ternyata ia mampu menjahit dengan rapi! Saya juga kagum pada Ferdi yang bersikeras mencoba menjahit sendiri walaupun hasil akhirnya tidak karuan dan tidak bisa selesai. Saya kagum akan sikap mereka berdua yang mau berusaha terlebih dahulu. Mereka justru tidak mau prakaryanya dibuatkan. Mereka ingin berusaha sendiri untuk menjahit nama mereka.
Padahal dalam hidup sehari - hari, seringkali kita menyerah duluan ketika dihadapkan pada situasi sulit atau suatu hal yang belum pernah kita coba sebelumnya. Kita bahkan kadang cenderung untuk menghindari hal - hal tersebut. Dari sini saya belajar bahwa dalam keadaan seperti itu yang semestinya kita lakukan adalah mencoba terlebih dahulu. Yang terpenting bukanlah hasil akhirnya, melainkan prosesnya dan kemauan serta keberanian kita untuk mencoba.
Secara keseluruhan kegiatan hari ini sangat menyenangkan. Saya senang bisa berinteraksi dengan anak-anak di Penas, sampai-sampai tak terasa sudah jam 3 sore lewat. Walau ini sudah kedua kalinya saya pergi, saya tidak merasa bosan. Rasanya seru sekali bermain dan membuat prakarya bersama teman - teman di Penas!
Claudia Erika

Wednesday, March 9, 2011

BERBAGI

Mau Berbagi

Hari ini, pertama kalinya saya pergi ke sanggar akar. Banyak hal yang terbayang di pikiran saya akan apa yang akan terjadi hari inI. Pagi harinya, cuaca tidak mendukung. Hujan deras turun terus-menerus, bahkan hingga saya sampai di halte SGU. Saya tiba disana pukul 11.20, tetapi hanya ada empat orang, termasuk saya, yang ada di halte. Bu ketika semua telah hadir, bus pun datang, tapi Bu Purwi belum datang sehingga kami harus naik bus pukul 11.50. Kami sampai di sanggar jam satu lewat dan tiba di halim sekitar setengah dua. Sesampainya di sana, tak lama kemudian anak-anak berdatangan. Mayoritas yang datang adalah perempuan, laki-lakinya hanya dua anak. Dua perempuan diantaranya ada yang sudah SMP dan SMA. Walau sudah cukup dewasa, mereka tetap antusias dalam melakukan kegiatan. Saya, Natalie, Zelda, Nanda, dan Bu Vita melakukan perkenalan kemudian mereka juga memperkenalkan diri. Setelah itu, kegiatan kami mulai dengan membuat prakarya. Sesuai keinginan anak-anak, mereka memilih untuk membuat tempat pensil. Dengan bahan dasar kardus dan stik eskrim bekas, mereka sangat antusias membuatnya. Bertanya-tanya cara melakukannya hingga akhirnya semuanya dapat mereka selesaikan dengan panduan dari saya dan yang lainnya. Sebelum usai, ada satu anak yang meminta dibuatkan burung origami kepada saya. Ia masih kecil. Setelah ia dibuatkan, banyak yang lainnya juga minta dibuatkan. Setalah selesai dibereskan, saya dan yang lainnya pun kembali ke BSD dengan bus yang sama bersama-sama tim Penas.
Satu hal yang menjadi pelajaran bagi saya, terkadang banyak hal yang biasa bagi saya. Membuat burung-burungan bukanlah hal yang sulit. Burung-burungan tersebut juga tidak berarti besar. Namun, bagi anak-anak di sana, karya kecil seperti itu sungguh berharga bagi mereka, bahkan diperebutkan.
Bersyukur atas apa yang Tuhan berikan dalam hidup saya menjadi hal yang sangat saya rasakan saat saya datang hingga pulang dari Halim. Selayaknya, saya lebih menghargai akan apa yang telah saya miliki dan mau berbagi akan apa yang saya bisa berikan. Karena saya tidak akan pernah semakin kekurangan ketika saya mau berbagi.
By samuel


Hari Minggu kemarin adalah pengalaman saya pergi ke Sanggar Anak Akar, untuk bermain dan membuat prakarya dengan teman-teman di sana. Saya pergi ke Halim bersama Zelda, Natalie, dan Samuel. Pada saat akan pergi ke sana, kami sempat tertinggal bus yang jam 11.30 WIB karena pada saat itu (mungkin) hujan dan beberapa ada yang telat. Tapi pada kedatangan bus selanjutnya kami semua sudah berkumpul dan langsung pergi ke sana.

Pada sampai di Halim, saya sempat kaget dengan tempat di mana saya dan teman-teman dari halim yang akan bertemu. Itu hanya berupa bangunan, sebenarnya tidak layak juga disebut bangunan yang sebelahnya adalah tempat pembuangan sampah-sampah. Saya sempat mengalami ketakutan saat saya melihat ada kaki seribu merayap di ubin tempat kita berkumpul. Saya sangat takut dengan segala macam yang merayap, entah cacing, ulat, dan sebagainya. Akhirnya hal itu dapat diatasi dan saya bisa tenang kembali dan melanjutkan berinteraksi dengan teman-teman di sana.

Selama hari itu, teman-teman dari halim yang berkumpul katanya tidak sebanyak biasanya. Hari itu memang hujan, sehingga mungkin banyak anak-anak yang enggan datang. Pada saat kami sedang membuat prakarya, ada anak bernama Inul serta teman-temannya yang sedang mengambil sampah-sampah. Ketika kami mengajak ia untuk bergabung, ia menolak. Ia lebih memilih memunguti sampah, yang bila di loakan akan memberikan uang buat dia dari pada duduk dan membuat kotak pensil di tempat kami sedang membuat prakarya. Padahal Inul baru berumur sekitar 7 tahunan. Betapa kasihan.

Dari beberapa teman yang datang pada hari itu, saya agak lebih dekat dengan seorang anak bernama Dyah atau dipanggil oleh teman-teman disitu adalah Dede. Dede sangat bawel, selama proses pembuatan prakarya selalu berbicara. Semua hal dibicarakan oleh Dede. Dia sempat mengeluhkan sebentar lagi Ujian Nasional (Dede kelas 3 SMP) dan dia merasa takutmenghadapi UN tersebut. Dede juga sempat mengutarakan lebih baik ia sekolah di Sanggar Anak Akar daripada sekolah nya sekarang, karena di sekolahnya banyak labrak-melabrak antar angkatan (senioritas). Lagipula di Sanggar Anak Akar juga mengikuti UN kejar paket B kata Dede.

Hari itu saya belajar banyak. Belajar bagaimana mereka bisa hidup dengan segala kesederhaan mereka. Mendengarkan keluhan mereka. Berhasil menahan diri dari phobia insekta. Sadar bahwa hidup saya jauh dari kecukupan dan lebih bersyukur dengan apa yang saya miliki.

Ananda Christie