Friday, April 8, 2011

Nilai Kehidupan Dalam Kesederhanaan

Stefanus Suryono

Sejauh mata memandang, hanya ada tanah berbukit yang tandus, rumah-rumah kayu, dan pohon-pohon yang jarang. Memang tidak terlalu menarik, namun terlalu naïf rasanya mengenal desa Jurangjero dari fisiknya saja…
Gosip tentang kehidupan semasa live-in memang terdengar kurang menyenangkan. WC tembak, pekerjaan yang merepotkan, makanan yang seadanya… Ah, tidak mungkin separah itu, pikir saya. Kalaupun iya, saya percaya saya bisa survive. Meskipun rasa penasaran terlintas dalam benak saya tentang bagaimana kehidupan keluarga yang akan saya jalani.
Saya tinggal bersama pasangan yang sudah tua, Ibu Suwarni dan Pak Gianto namanya. Mereka tinggal di sebuah rumah kayu yang tidak terlalu tinggi, namun cukup luas. Karena kedua anak perempuan mereka sudah merantau, praktis keduanya tinggal sendirian. Apakah mereka kesepian? Tidak. Mereka sudah cukup senang sebab di sebelah rumah mereka masih ada saudara-saudara yang tinggal berdekatan, dan lagi kedua anak mereka juga sesekali datang untuk berkunjung. Bagi mereka, sebuah kebanggaan bisa melihat anak-anak mereka hidup mapan di kota meskipun mereka hidup sederhana di desa.
Tinggal di sebuah rumah yang hanya memiliki televisi dan radio tidak lantas membuat mereka bosan. Sebaliknya, mereka justru menikmati suasana senggang hanya dengan mengobrol. Bahkan mereka terlihat akrab, meskipun saya tidak mengerti apa yang dibicarakan. Kenyataan inilah yang membuat saya tersadar – betapa sebuah keakraban dapat muncul di dalam sebuah obrolan kecil. Saya menyadari bahwa terkadang saya terlalu sibuk dengan dunia saya sendiri. Begitu banyak hal menarik yang membuat saya terkunci dalam dunia ‘saya’ – mainan komputer, pembicaraan bersama teman di telepon, film DVD – telah membuat saya lupa untuk berkomunikasi dengan keluarga yang tinggal satu atap dengan saya. Sungguh menyedihkan betapa komunikasi yang akrab seperti ini tidak muncul dalam kehidupan orang kota. Orang-orang yang katanya lebih ‘pintar’ dibandingkan dengan orang desa.
Hari-hari saya selanjutnya tidak banyak disibukkan oleh banyak hal. Memang pekerjaan Ibu Suwarni dan Pak Gianto adalah petani musiman, namun karena kondisi tanah yang tandus, mereka tidak lagi aktif menanam padi. Mereka lebih banyak mengarit (mencari rumput) untuk makanan kambing dan sapi. Pak Gianto sendiri sering naik ke atas bukit untuk menggemburkan tanah yang nantinya digunakan untuk panen pada bulan Desember. Beliau juga memecahkan batu, mencabut singkong dan membakar rumput di sana. Sedangkan Ibu Gianto, sewaktu senggang hanya mengupas singkong untuk dijual dan memasak. Selebihnya mereka ngaso. Malamnya, mereka menonton berita televisi.
Rutinitas yang membosankan ini tetap mereka jalani dengan satu tujuan. Bertahan hidup. Apa lagi yang bisa mereka lakukan? Tanah yang tandus tidak lagi memberi kesempatan bagi mereka untuk menanam tanaman seperti padi. Yang ada hanyalah kacang dan singkong, itupun hanya dijual mentahnya saja, tanpa diolah terlebih dahulu. Satu karung goni yang beratnya sekitar 10 kilogram berisi singkong-singkong yang dikupas hanya dihargai Rp 500. Dan untuk mendapatnya, mereka harus membawa benda berat itu menuruni bukit untuk selanjutnya diangkut dan dijual di pasar. Saya dan teman sekamar saya, Nathan, harus berhenti sesekali dan bahkan terjatuh karena beratnya beban yang harus kami bawa. Bayangkan, betapa tidak adilnya usaha yang mereka tempuh dengan hasil yang didapat. Namun mereka tidak tampak mengeluh. Nilai kerja keras inilah yang membuat saya kagum.
Pernah di suatu pagi, saya ikut Ibu Gianto mengarit ke bukit. Ibu Suwarni menunjukkan kepeduliannya dengan melarang saya ikut. Tapi saya tetap memaksa, dan akhirnya beliau mengijinkan saya untuk ikut. Tidak banyak kesulitan saya alami dalam mengarit, namun ada hal lain yang membuat saya terkejut. Ibu berani mengambil resiko untuk naik ke bukit yang curam hanya untuk mendapatkan rumput bagi kambing dan sapinya. Saya sempat khawatir dan takut kalau-kalau beliau jatuh. Apalagi saat itu masih sepi dan tidak ada orang lain selain kami berdua. Namun syukurlah, Ibu Suwarni bisa turun kembali dengan selamat. Dari pengalaman ini, beliau telah mengajarkan saya untuk berani mengambil resiko ketika keadaan menghimpit.
Sorenya, kegigihan Pak Gianto yang berusaha menggemburkan tanah membuat saya terkagum-kagum. Betapa tidak, beliau harus mencangkul gundukan tanah berpasir yang amat menumpuk ke bawah untuk menutupi tanah yang tandus. Gundukan itu tampak sangat besar – mustahil untuk melakukannya seorang diri. Saat saya mencobanya pun sungguh terasa sulit. Namun, dengan berbekal harapan bahwa tanah bisa dipakai untuk panen, beliau tetap melakukannya. Apalah arti kesulitan kalau saya memiliki harapan akan masa depan yang lebih baik. Sesulit apapun suatu permasalahan, saya harus tetap berpikir positif dan pantang menyerah.
Tidak hanya itu, saat saya mampir ke rumah Ibu Gianti (saudara Pak Gianto) di sebelah kanan saya, saya ditawari makan oleh beliau. Demikian pula ketika saya membantu mengupas singkong di rumah Ibu Wagih di sebelah kiri saya. Tampak sebuah keramahan yang mereka tunjukkan dengan mengajak kami makan. Tidak peduli betapa asingnya saya, mereka menerima saya sebagai tamu. Terlihat dengan jelas mereka menyediakan makanan yang mereka miliki untuk dinikmati. Sikap penerimaan inilah yang semakin jarang saya temui, dan saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya itu, ketika saya berpapasan dengan orang sekitar, mereka juga menyapa saya, orang yang bahkan belum mereka kenal dekat. Dengan teman satu sekolah pun saya terkadang melupakan hal ini. Sifat kekeluargaan inilah yang saya coba untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Saat saya berbincang-bincang dengan Ibu Suwarni dan Pak Gianto, terlihat bahwa mereka menanggapi pertanyaan saya dengan santai, tanpa suatu keterpaksaan atau keberatan. Malah mereka sangat senang berbagi pengalaman hidup mereka pada saya. Ibu Suwarni pernah sakit paru-paru selama tiga tahun dan Pak Gianto pernah terkena tumor jinak di lututnya. Untunglah keduanya bisa sembuh dan sampai saat ini masih produktif. Saat saya tanya bagaimana penyakit itu bisa sembuh, Ibu Suwarni menjawab bahwa mereka hanya memohon kesembuhan saja, dan selanjutnya seolah-olah Tuhan melempengkan jalan kesembuhan bagi mereka. Dulu karena keterbatasan materi, keduanya sama sekali tidak memiliki riwayat pendidikan. Orang tua maunya kami bekerja, demikian kata Ibu Suwarni. Terutama Pak Gianto yang harus berjuang sebagai anak sulung dalam mengurus adik-adiknya, sebab ibunya meninggal saat Pak Gianto masih muda. Pernah suatu ketika, keluarga Ibu Suwarni hanya memakan daun pepaya yang disambal karena mereka tidak memiliki apapun untuk dimakan.
Di sela-sela pembicaraan kami, Ibu Suwarni tetap bisa tertawa lepas mendengar cerita saya. Saya tidak menyangka bahwa di tengah keterbatasan yang ada, Ibu Suwarni tetap bisa ceria. Bagi saya, masa-masa sulit bukanlah hal menyenangkan yang seharusnya dibagi. Namun Ibu Suwarni membagikannya dengan bangga dan senyumnya yang lebar. Secara tidak langsung, Ibu mengajarkan saya akan pentingnya menghargai hidup dengan mensyukuri seluruh pengalaman yang saya alami. Seburuk apapun pengalaman yang saya alami, sepatutnya saya berbahagia, saya menjadi lebih kuat karenanya.
Saya sungguh mendapatkan banyak hal melalui pengalaman live-in ini. Saya juga selalu mendoakan agar Ibu Suwarni dan Pak Gianto selalu sehat dan selalu di bawah perlindungan Tuhan.